Selamat Datang

Kaligrafi

Selasa, 16 Oktober 2012

Kaligrafi Kita




“Lukisan kaligrafi” atau “kaligrafi lukis” mulai populer di Indonesia terutama semenjak pameran pada MTQ Nasional XI tahun 1979 di Semarang. Pameran yang lebih besar lagi diselenggarakan tahun 1980 bersamaan dengan Muktamar media masa Islam se-dunia I di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Semenjak itu, pameran-pameran semacam diselenggarakan secara rutin di kota-kota besar Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan pada pelbagai event penting di kota-kota lain di Indonesia. Buah dari pergelaran-pergelaran yang melibatkan para perupa ini telah memposisikan secara mantap seni lukis kaligrafi Islam dalam konstelasi seni rupa Indonesia.

Istilah “lukisan kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari “kaligrafi murni” atau “kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaedah khattiyah seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi, Diwani, Kufi dan Riq’ah. Lukisan kaligrafi acap dihubungkan dengan rupa-rupa teknik penggarapan karya secara keseluruhan, seperti teknik batik, teknik grafis, teknik ukir kayu, teknik logam dan lain-lain dalam media dan peralatan (seperti cat minyak atau akrilik) yang beragam pula. Hasil garapan yang memadukan huruf dengan latar belakangnya membentuk sebuah lukisan yang utuh, tidak hanaya tulisan terpisah.

Oleh karena itu, pengertian “lukisan” kaligrafi Islam di Indonesia tidak selalu menunjuk kepada pembagian gaya-gaya kaligrafi dalam arti huruf seperti kriterium al-Faruqi. Fokus “lukisan kaligrafi” di Indonesia “tidak hanya selesai pada huruf”, tetapi kehadirannya memang sebagai lisan dalam arti yang sesugguhnya, seperti dikemukakan pelukis kaligrafi Islami, Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa, Dan Suwaryono menandaskan, bahwa lukisan kaligarfi Islami pada dasarnya ditopang dua unsur elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, sedangkan di pihak lain tuntutan-tuntutan yang cenderung ke arah ideo plastis (meliputi semua masalah yang secara langsung ataupun tak langsung berhubungan dengan isi atau cita perbahasaan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, bahwa lukisan kaligrafii di Indonesia tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi sebuah lukisan utuh di mana huruf menjadi salah satu elemennya.

Maka, lukisan kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia sangat kaya varisasi, karena integral dengan rupa-rupa huruf tanpa memandang gaya alirannya. Baik gaya kontemporer ataupun klasik baku, semuanya dapat menjadi obyek garapan.

Pelopor mazhab ini adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) dikuti oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Kehadiran mereka memberi pengaruh sangat kuat terhadap kelahiran dan popularitas kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia. Terutama dua tersebut pertama adalah bidan kelahiran mazhab Bandung yang dikenal sebagai “laboratorium Barat”, selain aktif mengajar di Fakultas Seni Rupa ITB dan dikenal akrab dengan pergaulan seni rupa Barat bahkan sangat sering berpameran di luar negeri. Ajaran-ajaran mereka dengan cepat menyebar dan diikui para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di antara “generasi kedua” sesudah mereka antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hanbali, Hendra Buana, Abay D. Subarna, Yetmon Amier dan kawan-kawan mereka seperti Firdaus Alamhudi, Agoes Nugroho, Agus Kamal, Said Akram, Abdul Aziz Ahmad, dan lain-lain dengan aneka teknik dan gayanya masing-masing.

Kini, bukan hanya para alumnus perguruan seni rupa, bahkan para pelukis dan khattat yang tidak memiliki disiplin pendidikan seni rupa pun banyak yang terjun ke “permainan” seni lukis kaligrafi gaya baru ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar