“Lukisan kaligrafi”
atau “kaligrafi lukis” mulai populer di Indonesia terutama semenjak pameran
pada MTQ Nasional XI tahun 1979 di Semarang. Pameran yang lebih besar lagi
diselenggarakan tahun 1980 bersamaan dengan Muktamar media masa Islam se-dunia
I di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Semenjak itu, pameran-pameran semacam
diselenggarakan secara rutin di kota-kota besar Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Surabaya, dan pada pelbagai event penting di kota-kota lain di Indonesia. Buah
dari pergelaran-pergelaran yang melibatkan para perupa ini telah memposisikan
secara mantap seni lukis kaligrafi Islam dalam konstelasi seni rupa Indonesia.
Istilah “lukisan
kaligrafi” biasanya digunakan untuk membedakannya dari “kaligrafi murni” atau
“kaligrafi klasik” yang berpegang pada kaedah khattiyah seperti Naskhi,
Tsuluts, Farisi, Diwani, Kufi dan Riq’ah. Lukisan kaligrafi acap dihubungkan
dengan rupa-rupa teknik penggarapan karya secara keseluruhan, seperti teknik
batik, teknik grafis, teknik ukir kayu, teknik logam dan lain-lain dalam media
dan peralatan (seperti cat minyak atau akrilik) yang beragam pula. Hasil
garapan yang memadukan huruf dengan latar belakangnya membentuk sebuah lukisan
yang utuh, tidak hanaya tulisan terpisah.
Oleh karena itu,
pengertian “lukisan” kaligrafi Islam di Indonesia tidak selalu menunjuk kepada
pembagian gaya-gaya kaligrafi dalam arti huruf seperti kriterium al-Faruqi.
Fokus “lukisan kaligrafi” di Indonesia “tidak hanya selesai pada huruf”, tetapi
kehadirannya memang sebagai lisan dalam arti yang sesugguhnya, seperti
dikemukakan pelukis kaligrafi Islami, Syaiful Adnan. Kritikus seni rupa, Dan
Suwaryono menandaskan, bahwa lukisan kaligarfi Islami pada dasarnya ditopang
dua unsur elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk,
garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, sedangkan di pihak lain
tuntutan-tuntutan yang cenderung ke arah ideo plastis (meliputi semua masalah
yang secara langsung ataupun tak langsung berhubungan dengan isi atau cita
perbahasaan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, bahwa lukisan kaligrafii
di Indonesia tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi sebuah
lukisan utuh di mana huruf menjadi salah satu elemennya.
Maka, lukisan
kaligrafi Islam kontemporer di Indonesia sangat kaya varisasi, karena integral
dengan rupa-rupa huruf tanpa memandang gaya alirannya. Baik gaya kontemporer ataupun
klasik baku, semuanya dapat menjadi obyek garapan.
Pelopor mazhab ini
adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) dikuti oleh Amri Yahya
(Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Kehadiran mereka memberi pengaruh
sangat kuat terhadap kelahiran dan popularitas kaligrafi Islam kontemporer di
Indonesia. Terutama dua tersebut pertama adalah bidan kelahiran mazhab Bandung
yang dikenal sebagai “laboratorium Barat”, selain aktif mengajar di Fakultas
Seni Rupa ITB dan dikenal akrab dengan pergaulan seni rupa Barat bahkan sangat
sering berpameran di luar negeri. Ajaran-ajaran mereka dengan cepat menyebar
dan diikui para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di antara “generasi kedua”
sesudah mereka antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hanbali, Hendra Buana, Abay D.
Subarna, Yetmon Amier dan kawan-kawan mereka seperti Firdaus Alamhudi, Agoes
Nugroho, Agus Kamal, Said Akram, Abdul Aziz Ahmad, dan lain-lain dengan aneka
teknik dan gayanya masing-masing.
Kini, bukan hanya
para alumnus perguruan seni rupa, bahkan para pelukis dan khattat yang tidak
memiliki disiplin pendidikan seni rupa pun banyak yang terjun ke “permainan”
seni lukis kaligrafi gaya baru ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar