Seni lain yang beralih ke keramik dan untuk mencoba menyelami arti dari keramik di dalam ke-senirupa-an, maka harus jelas juga cara memandang peranan material lempung sebagai medium senirupa. Sebagai medium senirupa yang menghasilkan karya-karya yang disebut keramik tidak lepas dari yang dikenal selama ini yaitu materi yang disebut tanah liat atau lempung, sehingga sangat berperanan dalam seni keramik. Kemudian materi itu diwujudkan dalam bentuk tertentu atau tekanan pada pengertian bentuk tertentu, karena materi tanah liat itu diwujudkan dalam bentuk yang dikenal umum sebagai gerabah atau pottery. Dan yang jelas bentuk-bentuk gerabah atau pottery itu memang merupakan bentuk yang khusus, tidak meniru alam, tetapi timbul karena keinginan atau akan kebutuhan yang bersifat fisik yaitu sebagai “wadah”.
Salah satu ciri dari bentuk-bentuk khusus yang disebut pottery adalah adanya rongga-rongga pada setiap bentuk pottery yang diciptakan, didalam proses pembentukkan dengan menggunakan teknik pembentukkan yang khusus pula. Yaitu teknik pembentukkan yang dikenal sebagai pemutaran, teknik pembentukkan dengan tangan, baik itu dengan teknik pijat pinching atau teknik coil, maupun teknik yang lebih lanjut dikenal sebagai teknik cetak dan teknik cor. Semua macam-macam teknik itu, memungkinkan untuk membuat benda dengan bentuk-bentuk khusus yang selalu “berongga” atau memiliki
“ketebalan” dinding merata seperti tegel atau ubin. Dan dalam hal ini bentuk “khusus” yang demikian itu dimungkinkan karena sifat meteri yang khusus pula, ialah adanya sifat yang plastis dari tanah liat.
Apabila dipelajari hakekat dari maksud dan tujuan pembuatan benda-benda yang dibuat dengan materi tanah liat itu di masa lampau, maka akan berkesimpulan bahwa pada “hakekat”nya benda-benda yang dibuat dari bahan keramik (tanah liat) itu adalah benda “pakai” atau “wadah”.
Benda keramik dibuat dengan tujuan praktis, yaitu sebagai benda yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, memenuhi kebutuhan dalam hidup; baik sebagai wadah yang dibutuhkan untuk makan dan minum yang digolongkan sebagai kebutuhan yang bersifat material. Namun demikian dapat dilihat pula bahwa ada kebutuhan dalam hidup yang bersifat non-material, karena menyangkut kebutuhan mengenai kejiwaan dan digolongkan sebagai kebutuhan spiritual. Dalam hal ini keramik telah digunakan pula untuk memenuhi kebutuhan spiritual tersebut, antara lain dengan pembuatan berbagai macam benda yang berupa mainan maupun benda sebagai pemujaan dan upacara-upacara yang bersangkutan dengan kepercayaan atau keperluan agama (Hindu). Benda-benda ini antara lain banyak yang berupa patung-patung kecil (figurin) yang dibuat dari bahan keramik. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa sejak zaman dahulu kala bahan keramik telah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan material maupun spiritual dari manusia. Berbagai macam bentuk jembangan, cawan, periuk, mangkok dan benda pakai-pakai lainnya telah dibuat dari bahan keramik sejak zaman pra-sejarah sampai sekarang. Berbagai macam bentuk mainan berupa boneka-boneka, celengan, hiasan telah dibuat dengan bahan keramik untuk mengisi kebutuhan akan benda-benda yang tidak semata-mata untuk dipakai sebagai wadah, melainkan sebagai benda yang mengisi kebutuhan akan keindahan dan kebutuhan lainnya yang bersifat spiritual.
Pada bangsa-bangsa primitif dapat dilihat pula bahwa benda-benda yang dibuat dari bahan keramik itu banyak yang dipergunakan sebagai benda-benda ritual dalam keagamaan, yaitu dalam pemujaan nenek moyang / dewa-dewa baik berupa patung maupun bentuk lainnya. Bahkan dalam beberapa agama / kepercayaan hingga sekarang benda-benda keramik sebagai benda ritual masih banyak dipergunakaan contohnya dalam agama Hindu di Bali. Memang, pada akhirnya keramik dipergunakan dalam pembuatan benda-benda yang bersifat profan atau sekuler maupun sakral.
Perkembangan pembuatan benda-benda keramik selanjutnya menunjukkan bahwa benda-benda yang berupa pottery yang semula bertujuan praktis sebagai benda keperluan sehari-hari, suatu ketika berubah karena kehadiran nilai-nilai tertentu pada benda-benda pakai tersebut, yang digolongkan sebagai nilai seni. Mangkuk-mangkuk atau periuk-periuk yang semula digunakan untuk wadah dalam kehidupan sehari-hari, pada suatu ketika fungsinya berubah menjadi benda yang tidak lagi dipakai sebagai wadah, melainkan dikagumi oleh karena dianggap memiliki keindahan, bentuk yang has, karena warnanya atau karena hiasannya yang indah. Benda tersebut fungsinya beralih, dari benda pakai menjadi benda seni yang dikagumi karena keindahannya. Kini benda itu dihargai sebagai benda seni yang harus disimpan baik-baik, beralih tempatnya dari dapur ke tempat penyimpanan yang dibanggakan di ruang tamu. Disamping benda-benda yang sudah dibuat khusus sebagai benda hias yaitu berupa patung-patung keramik kecil, dapat dilihat pula bahwa benda-benda khusus keramik yang berupa pottery pun fungsinya berubah menjadi benda seni.
Sesungguhnya orang-orang yang membuat benda keramik pakai pada masa lalu sebenarnya adalah perajin atau tukang-tukang ahli, yang sama sekali tidak bertujuan membuat karya seni. Yang dilakukan oleh mereka adalah sebenarnya suatu pemecahan mengenai soal yang praktis-praktis saja, yaitu membuat sebuah benda dengan sebaik mungkin, jelas manfaat serta kegunaannya dengan cara yang teratur dan harmonis. Mereka sama sekali tidak memikirkan soal estetika, mereka hanya mencari ketepatgunaan. Para tukang ahli seperti itu dizaman dahulu tidak pernah dijuluki seniman. Dan hasil karyanya tak pernah dipersoalkan mengenai keindahannya seperti sekarang. Oleh karena tumbuhnya keindahan pada waktu itu dianggap sebagai suatu pertumbuhan yang natural, dianggap sebagai sesuatu yang sudah dengan sendirinya harus hadir.
Kini setelah memasuki suatu fase yang berlainan dalam sejarah seni. Kondisi sosial dan ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa pembaharuan-pembaharuan, penggunaan bahan-bahan baru dan teknik pengerjaan yang juga baru. Semua perkembangan tersebut dengan sendirinya membawa pengaruh terhadap pandangan mengenai penggunaan bahan keramik terutama pada produk benda pakai. Keramik tidak lagi satu-satunya bahan untuk benda pakai kebutuhan sehari-hari. Kini banyak bahan baru yang menggantikannya, yang harganya lebih murah seperti dari bahan plastik dan melamin serta sintetis lainnya, yang lebih tahan dan mudah pengerjaannya secara massal. Karena keramik memiliki mutu yang tinggi dengan keindahannya, disamping menggunakan bahan tanah yang khas, maka keramik masih tetap menjadi pilihan alternatif dan tetap diolah sebagai bahan industri massal untuk keperluan produk pakai fungsional seperti barang pecah belah terutama porselin.
Pembuatan keramik sebagai pekerjaan tangan, kini sifatnya berubah menjadi terbatas pada pembuatan barang dengan jumlah yang juga terbatas, bertujuan lebih khusus dengan penekanan sifat yang lebih khas pula. Benda keramik dari jenis ini tergolong sebagai benda pakai yang eksklusif. Penggunaan bahan keramik yang demikian itu menempatkannya pada penempatan taraf yang lebih tinggi dari produksi massal yang biasa. Penggunaan bahan keramik hasil pekerjaan tangan secara sadar lebih diarahkan kepada pembuatan benda yang bersifat estetik (keindahan) dan artistik (ungkapan seni dari seniman) dan tidak pada pengisian kebutuhan yang bersifat praktis. Dengan demikian keramik meningkat menjadi seni keramik untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan kepentingan, baik itu sebagai seni murni, seni kriya dan seni pakai serta keramik jalur industri dimana segi fungsional atau segi teknis tetap menjadi tujuan utama.
Dalam perkembangan sejarah keramik, telah ditunjukkan bahwa benda-benda fungsional yaitu benda pakai bisa saja memiliki kualitas estetis disamping kualitas fungsional, sehingga dapat saja dikatakan bahwa pada benda pakai semacam itu disamping memiliki kualitas fungsi rasional terdapat pula kualitas yang manusiawi. Memang pada umumnya dapat dikatakan pula bahwa benda-benda pakai yang telah memenuhi fungsinya dengan sempurna, seringkali memiliki bentuk yang memang sesuai dengan fungsinya itu. Kesempurnaan fungsi harus diiringi dengan kesempurnaan bentuk. Dengan demikian dalam pembuatan benda pakai secara massalpun segi estetis mendapat perhatian pula dalam desain bentuk tersebut.
Mengingat perkembangan yang demikian dalam dunia perkeramikan, ada beberapa arah perhatian dalam penggunaan bahan keramik sebagai berikut:
Pertama: Penggunaan bahan keramik sebagai pekerjaan tangan yang telah ditingkatkan ketaraf seni. Dengan memperhatikan dan menggali tradisi-tradisi yang ada dan ekspresi seni, keramik tidak akan kehilangan ciri khas dan kualitasnya.
Kedua: Penggunaan bahan keramik sebagai industri massal, dengan mengutamakan fungsi sebagai tujuan dan persyaratan yang utama, disamping itu kualitas estetis yang diperpadukan dalam proses desain menjadi bagian penting untuk diperhatikan.
Selanjutnya ditelaah hal-hal apa yang tampak dari arah tersebut, maka dapat dilihat:
1. Peningkatan pengerjaan bahan keramik dengan tangan ketaraf seni yang hasilnya menjadi keramik seni, maka tidak terlalu terikat mengenai persyaratan tentang fungsi dan kegunaan. Benda keramik yang dibuat harus memiliki nilai-nilai tertentu, apakah sebagai benda kriya atau seni murni. Tetapi bila harus menjadi benda seni, tidak cukup hanya memiliki kualitas estetis saja, melainkan harus hadir pula nilai-nilai yang disebut nilai artis-tik. Sebagai karya seni, produk tersebut harus merupakan kehadiran tersendiri atau eksistensi pribadi, karena sifat-sifatnya yang juga bersifat khusus individual. Sifat-sifat tersebut hadir dalam hasil ciptaan dan akan terdapat atau muncul pada bentuknya atau teksturnya atau glasirnya dan warnanya. Secara terpadu merupakan kesatuan yang tak dapat dikurangi atau ditambah lagi, dengan perkataan lain merupakan ekspresi atau ungkapan si pembuat.
2. Benda-benda keramik pakai hasil industri sering disebut juga sebagai hasil seni industri, apabila memiliki kualitas menurut persyaratan seni. Dalam pembuatan seni industri tidak semata-mata menghadapi persoalan pembuatan benda seni, melainkan benda yang mempunyai kualitas keindahan dan sekaligus mempunyai fungsi pakai. Sehubungan dengan hal tersebut, ada pendapat yang mengatakan bahwa sesuatu benda yang telah memenuhi fungsi pakainya secara efisien adalah benda yang memiliki kualitas estetis dianggap sebagai pendapat yang keliru oleh karena nilai-nilai estetis tidak ditentukan oleh fungsi saja. Pengertian mengenai produksi industri adalah suatu system industri yang menggunakan alat-alat berupa mesin, yang menghasilkan benda-benda yang sama dan serupa, secara tepat dan seragam, sehingga tidak menunjukkan perbedaan-perbedaan individual dan tidak memiliki daya tarik pribadi. Pada saat mesin diintrodusir ke dalam industri timbul sebagai persoalan yaitu bagaimana dapat menguasai mesin itu. Benda-benda hasil mesin harus menarik bentuknya bagi si pembeli, karena memiliki suatu keindahan, dekorasinya yang menawan dan warnanya yang sesuai.
Di zaman permulaan munculnya industrialisasi, telah disadari bahwa seni adalah factor komersial yang sangat potensial. Karena pada saat itu dianggap barang-barang yang paling ber-seni dan paling artistik-lah rupanya yang akan memenangkan pasaran. Oleh karena itu para industriawan mulai membeli seni seperti orang membeli sesuatu barang yang lepasan. Dan seni yang dibeli itu diterapkan begitu saja (applied) pada barang-barang hasil industrinya. Mereka membeli dan menerapkan seni dari berbagai periode seperti seni dari zaman klasik Yunani, seni Barok, Rococo dan lainnya lalu menerapkannya pada barang hasil produksi mereka dengan seenaknya saja. Tentu hal semacam itu merupakan tindakan yang keliru dan jelas tidak menunjukkan adanya pengertian terhadap persoalan yang sebenarnya. Pendapat keliru ini menduga bahwa seni adalah sesuatu yang lepas dan tidak ada hubungannya dengan produksi mesin, sehingga seni harus dibubuhkan atau ditempelkan (applied) pada benda hasil produksi mesin. Pada saat itu para industriawan belum menyadari bahwa masalah itu harus diatasi dengan perencanaan bentuk produk yang akan dihasilkan oleh mesin yang dikenal sekarang sebagai “Produk Desain” atau “Desain Produk” atau “Industrial Desain”.
masyarakat agraris tradisional di masa yang lampau tidaklah membedakan antara seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan keagamaan, melainkan lebih banyak menyatu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan keagamaan itu sendiri. Indonesia pada peralihan zaman Batu ke zaman Perunggu, dikenal sebagai masa “Perundagian” yaitu suatu masa “kemahiran teknik” mengolah bahan dan mengukir logam, dan para ahli ketukangan disebut sebagai “Undagi”. Orang-orang “cerdik pandai” atau “orang bijaksana” atau “ahli-ahli” pada masa lampau di Indonesia sering pula disebut sebagai “Empu”, yaitu sebagai orang yang menguasai akan ilmunya atau “mumpuni”. Pada masa di kerajaan Hindu ada disebut Empu Gandring sebagai ahli pembuat keris, Empu Tantular sebagai cerdik pandai dengan kitab sastra “Sutasoma”, Empu Prapanca dengan kitab “Negara Kertagama” dan lain-lain. Bali yang merupakan bagian dari wilayah Majapahit, pernah memperoleh sekotak wayang dari Raja Hayam Wuruk, yang diterima oleh Raja Gelgel, Dalem Semara Kepakisan, seusai upacara pensucian roh (Srada) dari Rajapatni, nenek Hayam Wuruk, pada tahun 1362. Tersebutlan nama Raden Sangging Prabangkara (Putra Brawijaya terakhir), yang telah melakukan perubahan dan penyempurnaan warna-warna pada pakaian wayang sesuai dengan martabat ketokohannya, sehingga ahli senirupa atau desainer zaman Majapahit ini, namanya sering dipakai sebagai gelar atau sebutan untuk para ahli seni rupa atau perancang desain dengan sebutan “Sangging” atau “Sungging” atau “Prabangkara”. Pengertian “seni” bagi orang Jawa adalah “kencing” atau buang “air kecil” dan air kencing itu sering pula disebut sebagai “air seni”. Juga perkatan “seni” juga untuk menyatakan suatu benda berukuran “kecil” atau “mungil” atau “Jlimet” atau “rumit”. Orang Jawa sering pula menyebut suatu produk hasil dari kehalusan jiwa manusia yang indah-indah dengan istilah “kagunan” sebagai sesuatu yang bermanfaat. Sering pula disebut “ngrawit”, dimana pada umumnya produk yang dihasilkan memang mempunyai tekanan pada “halus” atau “remitan” atau “rumit” dalam pengerjaannya, yang umumnya disebut “kerajinan” atau “kriya’ yang memerlukan ketrampilan atau “keprigelan”. Kata ‘technic” atau “teknik” yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “techne” dipadankan dengan kata “ars” bahasa Latin, memiliki arti atau makna “kecakapan” atau “ketrampilan” yang berguna, merupakan cikal-bakal dari sebutan “seni”, “ilmu pengetahuan” dan “teknologi” yang ada kemiripannya dengan arti “kagunan” dalam bahasa Jawa atau sesuatu yang berguna atau bermanfaat dalam arti luas. Orang Belanda sering menyebut “kepintaran” sebagai “Genie” atau “Jenius” yang mirip dengan “ketangkasan” atau “kemahiran” seperti istilah “techne” atau “ars” yang sepadan pula dengan pengertian “seni- kagunan” di Jawa. Sehingga sampai masa kini pun pengertian “seni-kagunan“sebagai “kepandaian” atau “kepintaran” atau “ketangkasan” atau “kemahiran” dan “ketrampilan” masih sering dipergunakan seperti halnya istilah “seni mengajar”, “seni memasak”, “seni bela diri”, “seni berhitung”, “seni bercocok tanam”, “seni membaca”, “seni bangunan” dan lain sebagainya.
Sebelum Revolusi Industri di Eropa kata “ars” mencakup disiplin ilmu tata bahasa, logika, dan astrologi. Pada abad pertengahan di Eropa terjadi pembedaan kelompok ars yaitu “artes liberales” atau kelompok “seni tinggi” yang terdiri dari bidang tata bahasa, dialektika, retorika, aritmatika, geometri, musik dan astronomi; Dan “artes serviles” atau kelompok “seni rendah” yang mengandalkan tenaga kasar dan berkonotasi “pertukangan”. Dari tujuh bidang-bidang keahlian hanya musik yang masuk “seni tinggi” , sedangkan lukis, patung, arsitektur, pembuatan senjata dan alat-alat transpor termasuk katagori “seni rendah”. Kemudian Leonardo da Vinci (1452-1519), pelukis Italia dari masa Renaissance, mempelopori perjuangan dan berhasil memasukkan atau menaikkan seni lukis ke dalam status “seni tinggi”. Sebagai orang yang serba bisa dan memiliki kemampuan sebagai arsitek dan ilmuwan itu, Leonardo, beragumentasi bahwa melukis juga memerlukan pengetahuan “teoritis” seperti matematika, perspektif dan anatomi serta mempunyai tujuan moral seperti puisi lewat penggambaran sikap dan ekspresi wajah dalam lukisan.
Suatu fenomena kemudian terjadi bersamaan dengan Revolusi Industri di Eropa akhir abad ke 18 sampai awal abad ke 19, dimana masyarakat industri yang baru tumbuh menuntut adanya pembagian kerja dan spesialisasi kerja dalam mengembangkan proses produksi. Dalam masyarakat industri status “seni” menjadi tiga kelompok yaitu “seni tinggi” (high art), “seni menengah” (middle art), dan “seni rendah” (low art). Katagori ini masih memperlihatkan kelanjutan tradisi klasik, yaitu semakin tinggi kedudukan seni apabila semakin dekat atau tinggi tingkat integrasinya dengan industri, demikian pula sebaliknya semakin jauh tingkat hubungannya dengan industri maka semakin rendah pula kedudukan seninya. Pertemuan seni dan industri ini mengakibatkan banyak benturan, dimana penemuan-penemuan mesin-mesin produksi massal mendorong kalangan industri untuk mengembangkan teknik produksi dan hanya “menempelkan” reproduksi karya-karya seni klasik yang berstandar pada bentuk produk yang dihasilkan. Sehingga menimbulkan reaksi keras dan serius dari kalangan seniman, sebab standariasi dan mekanisasi serta penempelan begitu saja karya-karya klasik pada produk merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup seni, disamping tidak ada kesesuaian bentuk dengan motif dekorasi yang ditempelkan tersebut. Sehingga akhirnya seni harus memutuskan hubungan dengan ikatan-ikatan seni masa lalu yang dianggap membelenggu dan membatasi perkembangan seni, karena tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai estetika. Otonomi seni diharapkan dapat mempertegas dan dapat meningkatkan standar nilai estetik secara terus-menerus atau berkelanjutan. Pada akhirnya seni selalu melahirkan norma yang menjunjung nilai kebaruan, nilai keaslian dan nilai kreativitas yang lebih lanjut mendasari pandangan seni modern pada abad ke 19 – 20. Ketika seni telah menjadi komoditi dan tunduk pada hukum permintaan dan penawaran ekonomi, maka seni dianggap jatuh pada selera massa yang rendah dan seni itu menjadi seni “picisan” atau kitsch. Status rendah ini dikarenakan seni telah kehilangan “roh seni” atau “jiwa seni”. Jelaslah kiranya pengertian “seni” yang sekarang dan sepadan dengan “art” adalah datangnya dari Dunia Barat yang terbentuk pada abad ke 18 sampai abad 20.
Istilah “seni rupa” di Indonesia muncul dalam surat-surat kabar untuk pertama kali pada masa pendudukan Jepang, dalam laporan dan resensi tentang pameran lukisan. Oleh pemerintah pendudukan secara resmi istilah itu dipakai dalam sebutan “bagian seni rupa” yaitu nama bagian Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan) yang berurusan terutama dalam lukis-melukis (Sanento Yuliman, 1983). Para seniman sebelumnya tidak begitu populer menggunakan istilah “seni” atau “seniman” yang sepadan dengan “ art ” atau “artis” yakni masih mempergunakan istilah “ahli gambar” pada nama PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar dan sebagainya. Kamus Modern Bahasa Indonesia dari Mohammad Zain, terbit sekitar tahun 1950, menerangkan bahwa yang masuk seni rupa ialah seni lukis, seni pahat dan seni patung. Memang hingga kini dalam pemakaian populer, istilah “senirupa” sering digunakan dengan lingkup pengertian yang terbatas pada seni lukis, dan seni pahat atau seni patung. Akan tetapi pendidikan formal senirupa di Indonesia dalam perkembangannya telah memperluas lingkup pengertian istilah itu. Pendidikan tinggi seni rupa dapat menyelenggarakan sejumlah keahlian seperti seni grafis atau desain grafis atau komunikasi visual, desain industri atau desain produk, desain interior atau arsitektur interior, desain tekstil, seni keramik, seni lukis, seni patung dan kriya kayu-logam-kulit-keramik dan sebagainya.
.I Gusti Bagus Sugriwa dalam tulisannya Dasar-dasar Kesenian Bali, mengatakan bahwa “seni” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “sani”, yang berarti pemujaan, pelayanan, donasi, permintaan atau pencarian yang jujur (IGB Sugriwa, 1957:219-233). Seni menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) yaitu suatu karya yang dibuat atau diciptakan dengan kecakapan yang luar biasa seperti sanjak, lukisan, dan sebagainya. Atau kecakapan menciptakan sesuatu yang elok dan indah. Definisi seni menurut Ki Hadjar Dewantara adalah : “Segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia lainnya” (1962:330). Sedangkan Thomas Munro mengatakan: “Seni adalah alat buatan manusia untuk menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lainnya yang melihat. Efek tersebut mencakup tanggapan-tanggapan yang berujud pengamatan, pengenalan imajinasi, rasional maupun emosional” (1963:419). Lebih lanjut Herbert Read (1962), mengatakan bahwa lahirnya sebuah karya seni melalui beberapa tahapan sebagai suatu proses. Tahapan yang pertama adalah pengamatan kualitas-kualitas bahan seperti tekstur, warna dan banyak lagi kualitas fisik lainnya yang sulit untuk didefinisikan. Tahapan kedua yaitu adanya penyusunan hasil daripada pengamatan kualitas tadi dan menatanya menjadi suatu susunan. Dan ketiga yaitu proses suatu obyektifikasi dari tahapan-tahapan di atas yang berhubungan dengan keadaan sebelumnya. Keindahan yang berakhir pada tahapan pertama belum dapat disebut seni, karena seni jauh telah melangkah ke arah emosi atau perasaan. Seni telah mengarah pada ungkapan sebagai “peng-ekspresian” dengan tujuan untuk komunikasi perasaan.
Berdasarkan uraian di atas dan pengertian secara umum, seni dapat diterjemahkan (diinterpretasikan) sebagai ungkapan atau ekspresi, bentuk, arti, simbol, abstrak, indah, guna atau pakai, kepandaian atau kepintaran atau kemahiran atau ketangkasan, wakilan (representatif), cantik, molek, mungil atau kecil, rumit, halus, fungsi, kreasi, imajinasi, intuisi dan lain sebagainya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar